Ketika Presiden AS Barack Obama, memasuki Gedung Putih, ia berbicara tentang kebijakan luar negeri kepada penasehatnya, dan dua masalah pokok, yang disampaikannya. Pertama, mengenai peninggalan pendahulunya, yaitu tentang Iraq dan Afghanistan, dan citra AS di mata dunia. Kedua, tentang masa depan kekuasannya yang juga menjadi agenda pribadinya.
Sesudah 15 bulan Obama menyampaikan pandangannya, dan sekarang dengan penuh semangat (agresif), pemimpin AS itu mulai menegaskan pandangannya, termasuk kebijakan luar negeri AS, yang harus dijalankannya. Obama mulai sangat jelas bagaimana ia mendifinisikan kebijakan luar negeri yang diinginkannya. Di depan 47 negara dan para pemimpin dunia, yang menghadiri konferensi pengurangan senjata nuklir dan keamanan, Obama menunjukkan dirinya, bukanlah George Bush.
"Sekarang memulai melaksanakan agendanya", ujar Nancy E.Soderberg, mantan diplomat, dan sekarang menjadi presiden The Connect US Fund, organisasi nirlaba, yang mempunyai perhatian terhadap kebijakan luar negeri dan internasional. "Ia mempunyai perhatian masalah kesehatan, yang menjadi warisan masa lalu pemerintahan AS. Tetapi ia juga menaruh perhatian atas kebijakan luar negeri yang juga warisan pemerintahan sebelumnya, seperti masalah pengurangan senjata nuklir", ujar Nancy.
Konferensi dilangsungkan sesudah ia melakukan berbagai pendekatan internasional, dan Obama mempelihatkan kemampuannya bahwa dirinya bukan tokoh yang lemah. Ia menolak memberikan permintaan Rusia pembatasan sistem pertahanan missil, dan melakukan perjanjian yang mengontrol sistem pertahanan yang menjadi pilihan negaranya menghadapi ancaman nuklir.
Obama juga mempunyai sikap yang jelas terhasdap Israel dan Afghanistan. Ia menghadapi kritikan atas langkah yang diambilnya untuk menggalang koalisi melakukan sanksi terhadap Iran. Obama juga memberikan sinyal (peringatan) yang jelas terhadap Israel, khususnya dalam konflik dengan Palestina. Obama tidak setuju dengan langkah-langkah Israel yang terus membangun perumahan di Jerusalem Timur.
Obama mendengarkan pandangan yang diambil dari Jendral David Petraeus, Panglima Militer AS di Timur Tengah, bahwa situasi konflik di kawasan ini sangat membahayakan keamanan AS, khususnya bagi pasukan AS di berbagai kawasan, seperti di Afghanistan dan lainnya. "Timur Tengah sangat vital bagi keamanan nasional AS, karena akan mereduksi dominasi militer AS sebagai super power", tegasnya.
Karena itu, AS tidak dapat mengabaikan situasi keamanan dan militer di Timur Tengah, dan membiarkan Israel terus-menerus menciptakan ketidakstabilan, yang akan mengancam posisi AS. Setiap konflik yang meledak di Timur Tengah, pasti dampaknya akan kepada AS. Karena itu, dukungan AS yang terus kepada Israel, tanpa menghiraukan aspirasi rakyat Timur Tengah, justru akan membahayakan bagi kepentingna keamanan AS di seluruh kawasan, ujar David Petraeus.
Konferensi nuklir yang sekarang berlangsung di Washington, tanpa kehadiran Israel, yang hanya diwakili seorang pejabat setingkat menteri, Dan Meridor, sepertinya menunjukkan ketidak setujuan Israel untuk ikut dalam pengurangan arsenal nuklir yang suda mengancam keamanan global.
Asumsi yang disampaikan Obama yang melangsungkan konferensi pengurangan nuklir, tak lain, ingin membatasi perluasan senjata nuklir, yang sekarang ini sudah menyebar ke berbagai negara, khususnya sejumlah negara Islam, yang sudah mengembangkan senjata nuklir, seperti Pakistan dan Iran. Inilah yang sebenarnya di tuju Obama, menyelengarakan konferensi. Di mana ada kekawatiran senjata-senjata nuklir itu, dikawatirkan akan jatuh kepada negara atau kelompok teroris dan militan Islam.
Tanpa, adanya kesungguhan langkah-langkah AS untuk menekan Israel, berpartisipasi untuk menandatangan perjanjian pengurangan senjata nuklir. Jadi kebijakan luar negeri AS, yang sekarang dijalankan oleh Obama, itu tujuannya hanyalah untuk mengamankan Israel, khususnya dari kemusnahan dari senjata nuklir, yang sekarang ini sudah menyebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar