(Info Jihad Internasional)_Pada tulisan "Hukum Jihad, Antara Fardhu ‘Ain dan Kifayah” yang lalu disebutkan tentang macam jihad menghadapi orang kafir, yaitu jihad difa’ (jihad defensif) dan jihad thalab (Jihad ofensif). Lalu dibicarakan hukum dasar jihad, antara fardhu ‘ain dan kifayah. Dan disimpulkan pada dasarnya hukum jihad adalah fadhu kifayah dan bisa menjadi fardhu ‘ain dengan beberapa sebab.
Pada tulisan ini, akan dibicarakan tentang empat pilar jihad yang harus diperhatikan para mujahid. Yaitu urgensi adanya imam atau amir dalam aktifitas jihad, I’dad (persiapan/latihan) jihad, mengikhlaskan niat, dan jelasnya misi dan tujuan jihad.
Keempat pilar tersebut menentukan tgak, benar dan tepatnya ibadah jihad yang dijalankan. Diharapkan dengannya, jihad mendatangkan kemenangan untuk Islam dan menjadi sebab kemuliaan dan kebahagiaan pribadi mujahid dunia dan akhirat.
Pertama, Urgensi Adanya Imam atau Amir
Jihad tidak akan tegak kecuali dengan imam atau amir yang akan menjadi rujukan ketika ada permasalahan dan menjadi pemutus ketika ada perselisihan. Tidak pernah ada keterangan bahwa ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengirim pasukan atau mengutus rombongan atau menyiapkan pasukan tanpa menunjuk seorang amir atas mereka. Beliau shallallaahu 'alaihi wasallam telah menetapkan tiga orang sahabat untuk pasukan Mu’tah, yaitu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah radhiyallaahu 'anhum.
Disebutkan dalam al-Syarh al-Kabir: “Dan perintah jihad diwakilkan (diserahkan) kepada imam dan ijtihadnya. Bagi rakyat wajib mentaatinya dalam keputusannya. . –sampai- . . dan jika tidak ada imam maka jihad tidak diakhirkan, karena mashlahatnya akan hilang dengan ditundanyya (jihad).”
Dan ini tidak bisa dilakukan kecuali pada kondisi-kondisi yang genting dan mendesak atau dalam kondisi jihad untuk membela diri dari musuh yang menyerang negeri muslim.
Karena itulah, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
الْغَزْوُ غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنِ ابْتَغَى وَجْهَ اللَّهِ وَأَطَاعَ الإِمَامَ وَأَنْفَقَ الْكَرِيمَةَ وَيَاسَرَ الشَّرِيكَ وَاجْتَنَبَ الْفَسَادَ فَإِنَّ نَوْمَهُ وَنُبْهَهُ أَجْرٌ كُلُّهُ وَأَمَّا مَنْ غَزَا فَخْراً وَرِيَاءً وَسُمْعَةً وَعَصَى الإِمَامَ وَأَفْسَدَ فِى الأَرْضِ فَإِنَّهُ لَمْ يَرْجِعْ بِالْكَفَافِ
“Perang ada dua macam: Adapun siapa yang (berperang) mencari wajah (keridlaan) Allah, mentaati imam, menginfakkan harta berharganya, meringankan kawannya, menjauhi perbuatan merusak, maka tidur dan terjaganya terhitung pahala seluruhnya. Adapun orang yang berperang karena sombong, riya’, dan sum’ah, mendurhakai (tidak mau taat kepada) imam, membuat kerusakan di muka bumi, maka dia tidak akan kembali dengan kecukupan.” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, al-Nasai, dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal. Dan ini hadits shahih)
Umar radhiyallaahu 'anhu berkata,
إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ ، وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ
“Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah (kepemimpinan), dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan.” (Diriwayatkan oleh al-Darimi)
Imam al-Bukhari telah membuat bab, “Bab Jihad tetap eksis bersama (imam) yang baik maupun yang fajir berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam: “Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat.” Lalu beliau mengutip dengan isnadnya bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
الْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ الْأَجْرُ وَالْمَغْنَمُ
“Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat: pahala dan ghonimah.” (HR. Al-Bukhari dari Urwah al-Bariqi)
Dalam hadits tersebut menunjukkan eksisnya Islam hingga akhir zaman dikarenakan eksisnya jihad fi sabilillah dan para mujahidin. Hal ini seperti diriwayatkan dalam hadits lain, “Akan tetap ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran.” (HR. Muslim)
Dan eksisnya jihad dan mujahidin menuntut keberadaan imam dan amir dalam aktifitas jihad. Imam dan amir di sini tidak harus sekelas khalifah atau presiden. Tapi sudah mencukupi sekelas amir/komandan pasukan, sebagaimana komandan yang ditunjuk oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dalam pasukan yang diutusnya.
Kenapa jihad harus bersama Imam yang baik maupun yang buruk?
Melihat kepada mashlahat yang ingin diwujudkan syariat dan kepada akibat buruk yang ditimbulkan bila jihad ditinggalkan bersama imam yang fajir, yaitu berkuasanya musuh atas kaum muslimin, dan menjarah negeri dan harta mereka, maka merealisasikan mashlahat ini lebih penting. Sedangkan meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan menghilangkan mahlahat-mashlahat ini, sebaliknya akan muncul kerusakan yang tidak diketahui buruknya kecuali oleh Allah Ta’ala.
Imam Ahmad rahimahullaah berkata, “Bagaimana menurutmu, kalau semua manusia duduk (tidak berangkat) berjihad sebagaimana kalian duduk, tidak ada yang berperang? Bukankah Islam pasti sudah hilang?”
Meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan menyebabkan berkuasanya musuh atas kaum muslimin, dan menjarah negeri dan harta mereka lalu akan muncul kerusakan yang tidak diketahui buruknya kecuali oleh Allah Ta’ala.
Kedua, I’dad Jihad (mempersiapkan kekuatan dan latihan untuk berjihad)
Tidak mungkin bisa memerangi musuh tanpa persiapan, latihan, dan perbekalan. Karena itu Allah Ta’ala berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-anfal: 60)
Sedangkan orang yang memerangi musuh tanpa persiapan dan latihan, sungguh telah menyalahi perintah Allah Ta’ala dan berharap kemenangan dari selain jalurnya. Karena itu, para mujahidin biasa melatih kuda untuk menyerang dan berlari sampai pada saat aman dan damai, harapannya kuda itu terbiasa dan sudah siap ketika panggilan jihad berkumandang.
Terdapat dalam catatan sejarah Nuruddin Zanki, dia banyak bermain dengan kuda, lalu ada orang yang mengingkari perbuatannya itu. Kemudian dia menulis kepada orang tersebut, “Demi Allah aku tidak bermaksud main-main, sesungguhnya kita dalam ancaman musuh, boleh jadi terjadi kumandang perang, sehingga kuda sudah terbiasa untuk berkelok, menyerang, dan berlari.”
Sedangkan orang yang memerangi musuh tanpa persiapan dan latihan, sungguh telah menyalahi perintah Allah Ta’ala dan berharap kemenangan dari selain jalurnya.
Ketiga, Mengikhlaskan Niat
Ikhlasnya niat menjadi syarat diterimanya berbagai macam ibadah. Siapa yang tidak berbuat ikhlash dalam jihadnya, maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Kalau dia berniat untuk mendapatkan dunia, maka dia tidak mendapatkan kecuali apa yang diniatkannya. Adapun kalau memperlihatkan kepada manusia bahwa dia berjihad fi sabilillah, tapi sebenarnya tidak seperti itu, maka dialah orang pertama yang akan merasakan panasnya api neraka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang pertama kali yang akan diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang gugur di medan perang, lalu didatangkan di hadapan Allah dan Allah memperlihatkan nikmat-nikmat yang telah Dia berikan, ia pun mengetahui nikmat tersebut. Lalu Allah bertanya kapadanya, "Apa yang kamu perbuat dengan kenikmatan tersebut?" Orang itu menjawab, “Aku berperang pada jalan-Mu sehingga aku mati." Allah menjawab: "Engkau telah berdusta! Akan tetapi engkau berperang agar engkau dikatakan seorang pemberani dan telah dikatakan hal itu kepadamu." Kemudian dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Seseorang yang memperlihatkan kepada manusia bahwa dia berjihad fi sabilillah, tapi sebenarnya tidak seperti itu, maka dialah orang pertama yang akan merasakan panasnya api neraka.
Dalam Shahihain, dari hadits Sahal bin Sa’d radhiyallaahu 'anhu berkata, “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bertemu dengan kaum musyrikin pada sebagian peperangannya. Mereka saling berperang. (Setelah usai) maka setiap kaum bergabung dengan pasukannya. Dan di tengah-tengah kaum muslimin terdapat seorang laki-laki yang tidak membiarkan seorang musyrikpun kecuali akan dikerjar dan dibunuhnya. Lalu dikatakan, “Ya Rasulallah, tidaklah seorangpun dari kita pada hari ini menyamai pahala si fulan.” Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Sungguh dia termasuk ahli neraka.” Mereka bertanya, “Siapa di antara kita yang menjadi ahli surga kalau dia saja termasuk ahli neraka?” Maka seseorang berkata, “Sungguh aku akan mengikuti dia terus. Maka dia berjalan cepat dan lambat sungguh aku selalu bersamanya sehingga dia terluka, lalu ia ingin segera mati, maka dia letakkan gagang pedangnya di atas tanah sedangkan ujungnya di antara dua dadanya, lalu dia tindihkan tubuhnya di atasnya sehingga dia membunuh dirinya sendiri.” Kemudian laki-laki tadi datang menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.” Lalu dia menceritakan apa yang dilihatnya. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar beramal dengan amalan penghuni Al-Jannah -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Neraka. Dan sungguh seseorang beramal dengan amalan penghuni Neraka -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Al-Jannah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) dan hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.
Maka siapa yang berperang dengan tujuan duniawi, dia tidak akan mendapatkan kecuali apa yang diniatkannya walaupun jiwanya menjadi korban dan nyawanya melayang.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang berperang, tapi tidak berniat dalam perangnya kecuali mendapatkan harta rampasan, maka baginya apa yang dia niatkan.” (Shahih, HR. Imam Ahmad dan lainnya)
Maka siapa yang berperang dengan tujuan duniawi, dia tidak akan mendapatkan kecuali apa yang diniatkannya walaupun jiwanya menjadi korban dan nyawanya melayang.
Keempat, Jelasnya Misi dan Tujuan
Ada seseorang datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan berkata,
الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Ada seseorang berperang untuk mendapatkan ghanimah, ada seseorang berperang untuk ketenaran, dan ada seseorang berperang untuk mendapatkan kedudukan, maka manakah yang fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Siapa yang berperang supaya kalimat Allah menjadi tertinggi, maka dialah yang fi sabilillah.” (Muttafaq ‘alaih)
Sesungguhnya misi dan tujuan seorang muslim dalam berjihad sangatlah agung dan mulia, yaitu untuk meninggikan kalimat Allah. Dia harus sangat menjaga niatnya agar tidak melenceng. Jangan sampai niat berperangnya karena sebatas semangat, sombong, fanatisme golongan, atau untuk mendapatkan dunia.
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa terbunuh karena membela bendera kefanatikan yang menyeru kepada ‘ashabiyah (fanatik golongan) atau mendukungnya, maka matinya seperti mati Jahiliyah.” (HR. Muslim)
Dan dalam hadits lain, “Bukan dari umatku orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah (fanatisme golongan), dan bukan dari umatku orang yang berperang di atas ‘ashabiyah, dan bukan dari umatku orang yang mati di atas ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)
Maka seorang muslim harus jelas niatnya dalam berperang, tujuannya harus lurus tidak boleh salah dan melenceng.
Apa tujuan dalam jihad?
Apabila tujuan jihad untuk menegakkan syariat Allah maka inilah yang benar. Namun apabila tujuannya untuk merebut sebidang tanah atau negeri lalu mengaturnya dengan hukum jahiliyah, maka sungguh itu adalah tujuan yang sangat buruk dan tercela. Karenanya harus jelas tujuan berperangnya dan berada di bawah naungan bendera yang terang laksana terangnya matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar