(Info Jihad Internasional)_BEKASI – KH Murhali Barda dan para aktivis muslim Bekasi divonis hingga 5,5 hingga 7 bulan penjara. Vonis hakim dinilai salah karena mengabaikan norma hukum dan tidak menghormati hak-hak terdakwa.
Sidang pembacaan putusan KH Murhali Barda cs di Pengadilan Negeri Bekasi, Kamis pagi (24/2/2011). Murhali divonis 5,5 tahun penjara dikurangi masa tahanan, lebih ringan 15 hari dari tuntutan jaksa. Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Murhali dengan hukuman 6 bulan penjara dengan dakwaan melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, sesuai dengan pasal 335 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Vonis yang sama juga dijatuhkan kepada delapan terdakwa lainnya: Ismail, Dede Trisutisna, Panca Rano VID, Khaerul Anwar, Nunu Nurhadi, Roy Karyadi, Kiki Nurdiansyah dan Supriyanto.
Terdakwa lainnya, Ade Firman (25) divonis 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan, lebih ringan dua bulan dari tuntutan jaksa. Dalam sidang sebelumnya JPU menuntut Ade Firman dengan hukuman penjara 8 bulan karena didakwa bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan pasal 351 ayat 1 KUHP.
Sedangkan Aji Achmad Faisal (28) divonis penjara 7 bulan dikurangi masa tahanan, lebih ringan 3 bulan dari tuntutan jaksa. JPU menuntut Aji dengan hukuman 10 bulan penjara dengan dakwaan melakukan tidak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat (1) KHUP.
Fakta di persidangan terungkap bahwa Aji adalah pelaku penusukan terhadap Asia Lumbantoruan, salah seorang jemaat HKBP. Aji melakukan penusukan karena untuk membela diri dari keroyokan dan penganiayaan ratusan jemaat HKBP.
Saat insiden HKBP Ciketing pada Minggu (12/9/2010), Aji dibonceng motor oleh Zainal di Ciketing berpapasan dengan 250-an jemaat HKBP yang sedang konvoi dari arah yang berlawanan. Karena kondisi jalanan yang sempit dan penuh lobang, maka Aji dan Zainal agak mepet dengan rombongan HKBP. Dengan arogan, jemaat HKBP meneriaki “maling dan copet” kepada Aji dan Zainal, sehingga situasi memanas, lalu kedua pemuda yang hendak menuju Masjid itu dikeroyok jemaat HKBP, hingga motornya jatuh.
Untuk menyelamatkan diri, dalam keadaan panik Zainal mengeluarkan pisau lipat kepada Aji sembari berkata, “Sabet aja, daripada dihajar!” Aji pun mengacung-acungkan pisau untuk menakut-nakuti para pengeroyok agar tidak mendekat, tapi jemaat HKBP tak mempedulikan. Hingga tertusuklah perut Asia Lumbantoruan.
Terhadap vonis tersebut, Mirza Zulkarnaen, Kuasa Hukum terdakwa, menilai putusan hakim terhadap Aji ini sangat tidak adil. Salah satu alasan vonis ini adalah keresahan masyarakat, padahal menurutnya, animo masyarakat sebaliknya.
“Putusan ini jauh dari rasa keadilan,” tegas pengacara yang tergabung dalam Tim Advokasi Kasus Ciketing ini. “Salah satu dasar putusan itu adalah terdakwa meresahkan masyarakat. Padahal faktanya, animo masyarakat terhadap persidangan ini sangat mendukung. Kalau perbuatan terdakwa ini meresahkan, masyarakat tidak mendukung terdakwa dalam persidangan. Ini bukti bahwa tindakan terdakwa tidak meresahkan masyarakat," ujarnya.
Sementara itu, dua terdakwa di bawah umur, Handoko alias Tolet dan Hardonis Syaiful divonis sesuai tuntutan JPU, yaitu dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama melakukan perbuatan tidak menyenangkan” sebagaimana diatur pasal 335 ayat 1 jo 55 ayat 1 KUHP. Karena masih tergolong anak-anak (di bawah umur), maka dikembalikan kepada orang tuanya.
Putusan ini dinilai tidak tepat oleh Basrizal SH, Kuasa Hukum terdakwa. Menurut Ketua Pusat Pengkajian dan Layanan Hukum (P2LH) Bekasi ini, putusan hakim bertentangan dengan hukum dan fakta-fakta persidangan.
....putusan hakim terhadap Handoko dan Hardonis Syaiful bertentangan dengan hukum dan fakta-fakta persidangan...
“Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah karena melakukan demo di rumah ibadah. Padahal dalam fakta persidangan jelas bahwa terdakwa melakukan demo di tanah kosong yang dipakai jemaat HKBP untuk beribadah. Dan tanah kosong itu bukanlah rumah ibadah,” tegasnya.
Kekecewaan serupa juga dirasakan oleh Shalih Mangara Sitompul, Kuasa Hukum terdakwa dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Menurut Shalih, keputusan dalam pengadilan itu salah dan tidak menghormati peradilan. Seharusnya hakim menggunakan norma hukum. Jangan menggunakan pendekatan-pendekatan lain. Kalau orang tidak bersalah, ya jangan dihukum.
“Pengadilan hanya ingin mendamaikan kedua belah pihak (Umat Islam dan jemaat HKBP), tapi mengabaikan norma hukum yang seharusnya dihormati oleh peradilan. Salah itu!” ujar pengacara yang juga Sekjen Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB) itu.
Norma hukum yang diabaikan, menurut Shalih, terlihat dari keanehan vonis hakim terhadap Murhali Barda. “Vonis hakim ini sangat aneh, karena peristiwa yang didakwakan kepada Murhali adalah insiden 12 September 2010, tapi Murhali dikenakan kejadian (perbuatan tidak menyenangkan) pada tanggal 1 dan 8 Agustus 2010 saat Murhali berhadap-hadapan saat demo menolak Gereja HKBP. Ini konyol lagi. Seharusnya, jika Murhali didakwakan kejadian tanggal 12 September, maka kejadian yang diajukan harus tanggal 12 September juga,” jelasnya.
....Pengadilan ini salah karena mengabaikan norma hukum yang seharusnya dihormati oleh peradilan....
Selain itu, Shalih juga mengkritik hakim yang dinilai tidak menghormati terdakwa. Pasalnya, usai membacakan putusan terhdap Murhali, Majelis Hakim langsung mengetuk palu tanpa memberikan kepada terdakwa Murhali untuk menyatakan sikap apakah menerima atau banding. Padahal, terdakwa ingin mengajukan banding.
“Hakim juga sangat tidak menghargai hak terdakwa untuk menyatakan sikap terhadap vonisnya. Hakim main ketuk palu saja sebelum terdakwa menyatakan sikap. Padahal terdakwa ingin menyatakan banding dalam persidangan itu,” ujarnya.
Meski kecewa dengan pengadilan, Shalih tetap menghormati putusan hakim. “Tetap kita hormati karena ini adalah putusan pengadilan,” tutupnya.Sumber : Voa-Islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar