Suatu saat, sejumlah Sahabat di antaranya Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah ra berunding untuk mengusulkan agar santunan untuk Khalifah Umar ra dinaikkan karena dianggap terlalu kecil. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mengajukan usul tersebut kepada Khalifah Umar ra yang terkenal sangat tegas dan ‘keras’. Mereka khawatir usulan itu tidak diterima.
Akhirnya, mereka menemui Hafshah ra, Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Nabi SAW yang tidak lain putri Umar ra. Saat Hafsah menyampaikan pesan mereka terkait dengan usulan kenaikan santunan untuk Khalifah tersebut, Umar tampak seperti menahan marah. Beliau dengan nada agak keras bertanya, “Siapa yang berani mengajukan usulan itu?”
Hafshah tidak segera menjawab, selain berkata, “Berikan dulu pendapat Ayah.”
Umar ra berkata, “Seandainya saya tahu nama-nama mereka, niscaya saya pukul wajah-wajah mereka!”
“Hafshah, sekarang coba engkau ceritakan kepadaku tentang pakaian Nabi SAW yang paling baik, makanan paling lezat yang biasa beliau makan dan alas tidur paling bagus yang biasa beliau pakai di rumahmu,” kata Umar lagi.
Hafshah menjawab, “Pakaian terbaik beliau adalah sepasang baju berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari Jumat dan saat menerima tamu. Makanan terlezat beliau adalah roti yang terbuat dari tepung kasar yang dilumuri minyak. Tempat alas tidur terbagus beliau adalah sehelai kain agak tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh beliau jadikan alas tidur dan separuh lagi beliau jadikan selimut.”
“Sekarang, pergilah. Katakanlah kepada mereka, Rasulullah SAW telah mencontohkan hidup sangat sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Aku akan selalu mengikuti jejak beliau. Rasulullah, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir.
Musafir pertama telah sampai di tujuan seraya membawa perbekalannya. Demikian pula musafir kedua, telah berhasil menyusulnya dan sampai di tujuannya. Aku, musafir ketiga, masih sedang dalam perjalanan. Seandainya aku bisa mengikuti jejak keduanya, tentu aku akan bertemu dengan mereka. Sebaliknya, jika aku tidak mampu mengikuti jejak keduanya, aku tidak akan pernah bertemu mereka,” tegas Umar lagi.Pada saat lain, ketika beliau sedang asyik makan roti, datanglah Utbah bin Abi Farqad ra. Utbah pun beliau persilakan masuk sekaligus beliau ajak untuk ikut makan roti bersama. Roti itu ternyata terlalu keras sehingga Uthbah tampak agak kesulitan memakannya. “Andai saja engkau membeli makanan dari tepung yang empuk,” kata Uthbah.
Khalifah Umar malah bertanya, “Apakah setiap rakyatku mampu membeli tepung dengan kualitas yang baik?”
“Tentu tidak,” jawab Uthbah ra.
“Kalau begitu, engkau telah menyuruhku untuk menghabiskan seluruh kenikmatan hidup di dunia ini,” tegas Umar.
*****
Itulah Khalifah Umar ra., penguasa Muslim yang wilayah kekuasaannya saat itu adalah seluruh jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika. Kebe-saran kekuasan beliau tentu jauh lebih besar daripada kekuasaan para raja Arab saat ini.
Namun, semua itu ternyata tidak otomatis menjadikan beliau kaya-raya serta bergelimang harta dan kemewahan, sebagaimana para penguasa Arab saat ini; juga sebagaimana penguasa dan para pejabat Muslim di negeri ini, yang hampir setengah rakyatnya (sekitar 100 juta orang) tergolong miskin.
Sebetulnya, melihat pemandangan yang amat kontras antara kehidupan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin salah satunya Khalifah Umar, yang penuh dengan kesederhanaan dan kezuhudan dengan para penguasa Muslim saat ini yang bergelimang harta dan kemewahan tidaklah terlalu mengejutkan.
Pasalnya, orientasi kedua jenis pemimpin ini memang berbeda: para pemimpin dulu orientasi hidupnya akhirat, sementara yang sekarang orientasi hidupnya hanya-lah dunia. Karena itu, saat ada usulan kenaikan gaji penguasa/pejabat, penguasa/pejabat sekarang menyambutnya dengan riang gembira.
Mereka tak mungkin marah seperti Khalifah Umar ra. Meski gaji dan tunjangan mereka sudah sangat luar biasa, mereka bahkan masih tetap berusaha mencari tambahan lain dengan cara-cara yang tidak wajar. Akhirnya, korupsi menjadi pilihan, dan menerima suap pun amat doyan.
Masihkah kita tetap berharap kepada mereka, juga pada sistem sekuler yang terbukti banyak melahirkan para pemim-pin korup seperti mereka? Tidakkah kita rindu kepada para pemimpin seperti Khalifah Umar, juga pada sistem Khilafah yang terbukti banyak melahirkan para pemimpin zuhud dan warâ’ yang bekerja semata-mata demi mendapatkan akhirat?
[] arief b. Iskandar/ Media Umat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar