Oleh: Budi Yahya (Aktivis Asy Syabab Institut)
Bagi seorang pendaki، menginjakkan kaki di puncak adalah tujuan akhir dan ujung dari segala usaha payahnya kaki, perihnya betis dan lecetnya lutut adalah bumbu wajib. Semua ditempuh dan dijalani demi mencapai satu tujuan dan kepuasan.
Mengingat beratnya medan, tidak semua pendaki mampu berdiri gagah di puncak impiannya. Rintangan yang menghadang, sudah barang tentu harus ditaklukkan. Kesabaran dan ketangguhan pun diuji, hingga didapati sang pemenang sejati.
Filosofi ini, ternyata berlaku juga di kancah jihad.
Rasulullah bersabda :
عن معاذ بن جبل قال : كنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في غزوة تبوك فقال لي : إن شئت أنبأتك برأس الأمر و عموده و ذروة سنامه قال : قلت : أجل يا رسول الله. قال : أما رأس الأمر فالإسلام و أما عموده فالصلاة و أما ذروة سنامه فالجهاد
Artinya : Dari Mu’adz bin Jabal ra. beliau berkata : “Kami bersama Rasulullah dalam perang Tabuk. Beliau berkata kepadaku : “Bila kau mau, aku akan terangkan padamu pokok segala urusan، tiang serta puncaknya. Muadz berkata : “Tentu، wahai Rasulullah”. Beliau bersabda : “Pokok dari segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah.”
Hadits shahih atas syarat Imam Bukhari dan Muslim, namun tidak mentakhrijnya.
(Al-Mustadrak ala Shahihain, Hadits ke 2408)
Seorang Khalid bin Walid ra. Panglima tangguh yang malang melintang dari Persia hingga tanah Syam. Harus rela menerima takdir Allah, meninggal diatas ranjang. Maka seorang mujahid yang syahid di tangan musuh-Nya, berarti telah mendapat satu kemuliaan besar.
Lantas, bisakah tanda syahid yang terlihat dijasad sang mujahid, menjadi ukuran kebenaran ?. Hingga setiap kaum Muslimin harus mengikuti semua jalannya, sampai hal-hal yang sifatnya ijtihady ?.
1. Kebenaran tidak disandarkan kepada tokoh atau manusia
Allah berfirman :
" Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa : 59).
Al-Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, "Ini adalah perintah dari Allah, bahwa semua urusan dien yang menjadi perselisihan kamu Muslimin. Baik perkara ushul maupun furu', hendaknya dikembalikan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka, segala sesuatu yang dibenarkan dalam Kitabullah dan Sunnah, itulah Al-Haq. Dan tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan"
Rasulullah bersabda :
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya : "Aku tinggalkan bagi kalian dua urusan, tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnahku." (Muwatha' Imam Malik).
Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah dua neraca timbangan. Baik dan buruknya
sesuatu, harus diukur dengan keduanya. Bila perkara itu menyelisihi, bisa dipastikan perkara itu adalah sebuah kebathilan. Keduanya adalah timbangan mutlak dan ukuran baku untuk setiap urusan.
Jadi Al-Haq ditimbang dengan nash syar'I, bukan dengan keputusan dan sikap seorang manusia. Lain dari itu, tidak didapatkan satu nash pun yang mewajibkan untuk bersandar kepada manusia dalam memutuskan urusan.
Imam Malik bin Anas, satu dari empat Imam Madzhab yang masyhur pernah berkata : "Setiap perkataan manusia tertolak, kecuali perkataan pemilik kubur ini". Beliau mengatakan hal ini seraya menunjuk ke kuburan Rasulullah.
Syaikh Yusuf Al-Uyairi, dalam makalahnya "Tsawabit 'ala Darbil Jihad". Beliau menyebutkan, bahwa urusan jihad ini tidak hanya tergantung kepada seseorang saja. Jihad adalah sebuah ibadah yang terus berjalan hingga hari kiamat.
Lebih jauh lagi, beliau mengungkapkan sebuah kekhawatiran. Dimana sebagian kaum muslimin terjatuh pada manhaj yang tidak benar. Yaitu menyandarkan keberlangsungan jihad kepada tokoh tertentu. Kemudian menjadikannya sebagai ukuran kebenaran. Meski tidak dipungkiri, keberadaan seorang komandan dan pemimpin memberi pengaruh yang sangat besar.
Imam As-Syafi'I dalam perkataannya yang masyhur menyatakan,
إذا صح الحديث فهو مذهبي
"Jika shahih sebuah hadits, maka itulah madzhabku". (Al-Majmu' Syarh Muhadzab 1/92).
Beliau tetap mengembalikan segala urusannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak juga menyuruh kaum muslimin untuk taklid, apalagi mengambil madzhab beliau secara mutlak.
Belum pernah ditemukan, baik ulama salaf maupun khalaf yang mewajibkan kaum muslimin untuk berafiliasi secara mutlak kepada madzhab tertentu.
Dr. Shalah Shawi dalam bukunya "Ats-Tsawabit wal Mutaghayirat" menyatakan. Bahwa yang menjadi kesepakatan ulama adalah, seorang muslim tidak diharuskan mengikuti satu madzhab khusus. Namun, hendaknya mereka mengikuti siapa saja ulama yang dipercayainya. Selama ulama itu masih bersih dan berjalan diatas manhaj yang benar. Tidak ada manusia yang maksum dan terjaga, kecuali Rasulullah.
Dari sini bisa ditarik benang merah, bahwa menjadikan manusia selain Rasulullah sebagai ukuran dan patokan kebenaran adalah manhaj yang rusak. Baik orang itu seorang ulama, orang shalih maupun seorang mujahid yang ditampakkan atasnya tanda-tanda syahid. Meski seorang yang meninggal, telah aman dari fitnah.
2. Semua mujtahid mendapat pahala
Rasulullah bersabda :
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya : "Dari Amru bin Ash, beliau mendengar Rasulullah bersabda : "Jika seorang hakim menghukumi, kemudian ia berijtihad dan benar ijtihadnya. Maka baginya dua pahala. Dan jika seorang hakim menghukumi, kemudian ia berijtihad dan salah ijtihadnya. Maka baginya satu pahala." (Shahih Bukhari, Hadits no. 6805).
Ibnu Hajar Al-Asqalany menjelaskan. Hadits ini menunjukkan bahwa seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya, tidak lantas tertolak dan mendapat dosa. Bahkan ia mendapat satu pahala. Yaitu jika ia mencurahkan segala kemampuannya untuk mengeluarkan satu putusan hukum, namun masih terjatuh pada kesalahan.
Pendapat ini dikuatkan dengan sebuah hadits, yang dikeluarkan oleh semua Ashabu Sunan. Tentang tiga macam qadhi. Dimana seorang qadhi yang telah memutuskan sesuai ilmunya, maka ia selamat dari neraka. Berbeda jika qadhi ini mengetahui Al-Haq, namun memutuskan berdasarkan hawa nafsunya. Atau memutuskan perkara, namun tidak memiliki ilmu atas urusan itu.
Syaikh Abu Mush'ab As-Suri dalam karya monumentalnya, "Da'wah Muqawamah" pernah menjelaskan. Bahwa urusan strategi yang diterapkan dalam amal jihad, adalah urusan yang sifatnya ijtihady. Selalu berubah dan berkembang, sesuai dengan tempat, waktu, kondisi, dan situasi.
Strategi dan taktik jihad di awal 1980-an, saat Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Tentu berbeda dengan strategi mujahidin Imarah Islam Afghanistan hari ini.
Prioritas amal dan taktik perjuangan di awal 1950-an, saat S.M. Kartasuwirya memproklamirkan NII. Sudah barang tentu, berbeda dengan strategi perjuangan Islam di Indonesia hari ini.
Sebuah amaliyah jihadiyah yang hari ini cocok diterapkan di wilayah Daulah Islamiyah Irak, belum tentu cocok dengan kondisi Indonesia yang serba amburadul ini.
Pemilihan strategi, prioritas amal mana yang didahulukan dan metode apa yang paling tepat dalam Iqomatuddin. Semua ini adalah persoalan yang mengundang perbedaan. Karena bagaimanapun juga, ini adalah ranah ijtihad. Hingga terkadang antara sebuah jama'ah jihad saling berbeda satu sama lain.
Selama seorang mujahid berpegang pada satu putusan ijtihad, maka itu sah saja. Bila ditakdirkan syahid, maka ia syahid di atas Al-Haq. Meski bisa jadi ijtihad yang ia yakini hingga ajal, adalah ijtihad marjuh atau lemah.
Yang perlu digaris bawahi, meski berbeda pendapat, adab-adab ijtihad harus tetap dijaga. Telah banyak dibahas dalam kitab-kitab Ushul Fikh, bahwa sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain.
الاحتهاد لا ينقض بالاجتهاد
"Sebuah ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad yang lain."
Sekuat apapun hujjah dari sebuah ijtihad, tidak menutup kemungkinan bahwa itu adalah ijtihad yang kurang tepat. Bisa jadi kebenaran itu ada pada ijtihad yang lain.
Para ulama juga bersepakat tentang tidak adanya paksaan dalam ijtihad. Artinya, seseorang tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti satu keputusan ijtihad.
Bukan rahasia umum bila Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terkadang berbeda dalam beberapa hal dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Meski beliau sendiri bermadzhab Hanabilah.
Dalam menyikapi perbedaan, usaha yang paling mungkin dilakukan adalah saling menghormati dan tidak menjelekkan ijtihad yang lain. Selama ia tegak diatas dalil syar'i. Alangkah baiknya bila kedua pihak mau duduk dalam satu forum, saling mengungkap dan mempertahankan argumennya. Hingga didapati sebuah pendapat yang lebih tepat untuk diikuti.
Referensi :
1. Al Qur'an
2. Shahih Bukhari
3. Mustadrak Ala Shahihain
4. Muwatha Imam Malik
5. Tafsir Ibnu Katsir
6. Dakwah Muqawamah
7. Tsawabit wal Mutaghayirat
8. Al Majmu' Syarh Muhadzab
9. Tsawabit ala Darbil Jihad
10. Al Mabadi Al Awaliyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar