Gereja dan penduduk lokal di kota Camberley, Inggris Tenggara, menentang rencana pembangunan masjid, dan menggambarkan bahwa menara adalah lambang supremasi Islam.
"Saya pikir adil untuk mengatakan bahwa sebuah masjid dengan dua menara setinggi 100 kaki dan kubah tinggi besar membuatnya tidak begitu spiritual, sebagai budaya yang kuat, atau bahkan pernyataan politik," ungkap Pendeta Mark Chester, ketua Churches Together Coalition, mengatakan kepada The Times, Rabu 10 Maret.
Koalisi gereja yang mewakili gereja-gereja di Camberley, dengan tegas menentang rencana desain masjid dan lokasinya.
Menurutnya, rencana pembangunan masjid akan memicu "pertentangan antara komunitas Muslim dan masyarakat luas di dalam kota Camberley di tahun yang akan datang."
Masjid yang diusulkan oleh Asosiasi Kesejahteraan Bengali, akan berlokasi dekat Akademi Militer Kerajaan.
Lokasi masjid merupakan bekas lokasi sekolah Victoria yang digunakan oleh Muslim setempat sebagai masjid selama 14 tahun ini.
Tim Cross, seorang pensiunan Mayor Jenderal, menyebut bahwa keberadaan masjid sebagai "ancaman keamanan yang signifikan."
Dia mengatakan bahwa menara dapat digunakan untuk menyerang anggota keluarga kerajaan dan tokoh-tokoh militer penting yang mengunjungi Akademi Militer Kerajaan setiap tahun.
Perencanaan pembangun masjid akan diputuskan oleh Dewan Surrey Heath Borough pertemuan hari Rabu. Namun penentangan sejumlah kalangan telah mengejutkan umat Islam setempat.
Abdul Wasay Chowdhury, juru bicara Bengali Welfare Association, mengatakanb bahwa alasan masalah keamanan tidak kuat.
Ia menegaskan bahwa akses dalam menara tidak akan melampaui ketinggian rumah karena akan diisi dengan beton.
Kementerian Pertahanan yang awalnya mempersoalkan masalah keamanan di menara, telah merevisi pernyataannya setelah klarifikasi ini.
"Rencana sudah direvisi sehingga akses ke menara akan dibatasi untuk masalah pemeliharaan yang penting," ungkapnya dalam sebuah pernyataan.
Pemimpin komunitas Muslim tersebut juga menolak tuduhan bahwa masjid merupakan pernyataan politik.
"Kami tidak tahu apa-apa tentang politik," kata Chowdhury kepada The Times.
"Kami adalah orang-orang biasa yang ingin beribadah sesuai dengan iman kami."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar